pacman, rainbows, and roller s

Indonesia negara kafir apa negara islam? (bag 1)

Indonesia negara Kafir atau negara Islam? Bagi sementara kalangan, bahkan mungkin bagi mayoritas umat Islam, penjatuhan vonis murtad dan kafir kepada pemerintah Indonesia hari ini merupakan suatu hal yang sangat membingungkan dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin para penguasa yang beragama Islam, sholat, zakat, shaum, haji berkali-kali dan menampakkan amal-amal sholih lainnya bisa dijatuhi vonis kafir murtad ? Tak ayal, sebagian ulama pun menuduh orang-orang yang memvonis para penguasa ini dengan vonis murtad sebagai kelompok takfiriyun, khawarij, ahlul ahwa’ wal bida’, hizbiyyun, Islam fundamentalis dan tuduhan-tuduhan lainnya.

Namun bila diadakan kajian secara syariat, berdasar Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ menurut pemahaman salaful ummah, dengan mengkaji dhawab itu takfir, qiyamul hujjah dan mawani’u takfir, setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Hal ini bukan hanya sekedar karena kebencian yang membabi buta atau berfikir kolot dan kaku. Namun coba kita renungi dan evaluasi kembali perjalanan para penguasa negeri ini dengan akal sehat dan hati nurani yang tulus berdasarkan kasadaran penuh untuk menggali nilai-nilai kebenaran Islam yang terpampang jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendengarkan secara seksama bagaimana para ulama’ salaf dan muta’akhirin menjelaskan sebuah kenyataan yang sangat urgen ini dalam rangka menilai secara obyektif untuk selanjutnya menentukan sikap yang jelas untuk masa depan yang penuh berkah dalam lindungan dan bimbingan Alloh.

Sungguh setelah kita mengkaji secara serius, kita akan mendapatkan bahwasanya pemerintah Indonesia hari ini telah melakukan banyak hal yang membatalkan keislaman, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi. Seandainya mereka melakukan salah satunya saja tentu mereka kafir, lalu bagaiman jika mereka telah melakukan kekafiran yang sangat beragam dan banyak sekali.

Di bawah ini beberapa alasan kenapa para ulama menjatuhkan vonis murtad kepada para penguasa mayoritas negeri-negeri kaum muslimin hari ini.

MENGAPA PEMERINTAH INDONESIA TERHUKUMI MURTAD

Pertama. Indonesia membuat Undang-Undang Negara sendiri sebagai dasar hukum dan tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum.

Kedudukan Pancasila dalam negara indonesia:
Kegunaan dan penerapan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika selain memiliki fungsi utama sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Pancasila juga mendapat sebutan/predikat antara lain:
  • 1.Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa, berarti Pancasila memberikan corak yang khas bagi bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila mungkin saja dimiliki bangsa-bangsa di dunia ini, tetapi kelima sila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
  • 2.Sebagai tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil.
  • 3.Sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, berarti Pancasila disetujui oleh wkil-wakil rakyat menjelang dan sesudah proklamasi. Disetujui karena digali dari nilsi luhur budaya bangsa, sesuai dengan kepribadian bangsa dan telah teruji kebenarannya.
  • 4.Sebagai idiologi nasional.
  • 5.Sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dasar hukum Pancasila sebagai Dasar Negara adalah Pembukaan UUD 1945 alinea Ke empat, sedang dasar hukum Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang tertinggi adalah Tap MPR No. III/MPR/2000.


Sedangkan bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 ialah sebagai berikut:
  • 1.Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,
  • 2.Ketetapan MPR,
  • 3.Undang-Undang, Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang,
  • 4.Peraturan Pemerintah,
  • 5.Keputusan Presiden dan,
  • 6.Peraturan-peraturan lainnya seperti Peraturan Menteri, Intruksi Menteri dan lain-lain. Sesuai dengan sistem seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 adalah bentuk peraturan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber dari semua peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.


Dalil-dalil atas kufurnya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya nash-nash syari’at telah menunjukkan bahwa siapa yang menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar dan keluar dari millah , berdasar beberapa dalil berikut ini :

1.1. Di antaranya firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An Nisa':59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya –sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim–, “Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…” Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan halyang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan ” Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”. Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan, “Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata nakirah yaitu “perkara” dalam konteks syarat yaitu firman Allah “Jika kalian berselisih” yang menunjukkan keumuman (sehingga artinya menjadi segala perkara) lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal, ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firmannya “Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” Lalu apa yang dilakukan oleh para penguasa kita hari ini? Apakah mereka setiap kali berselisih pendapat mereka selalu merujuk kepada Al-qur’an dan As-Sunnah?Ataukah mereka lebih mempercayai dan mentaati undang-undang yang mereka buat sendari sesuai dengan memauan mereka dan kadar kebodohan mereka?

1.2. Di antaranya juga adalah firman Allah: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut,padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa' :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku  beriman namun pada saat yang sama mau berhukum dengan selain syari’at Allah. Ibnu Qayyim berkata, “Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut.
Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghutnya setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah.”
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya, “Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya.
Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshar berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata, “Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad.” Si shahabat Anshar berkata, “Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka’ab bin Al Asyraf.” Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah.
Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini.”

Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi mengatakan, “Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling dan berhukumkepada selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya.” Lalu bagai mana dengan negara kita? apakah setiap kali ada permasalahan atau yang lain mereka berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah? ataukah mereka kembali kepada hukum yang mereka buat sendiri. Jawabannya jelas dan kesimpulannya pun sangat jelas.

1.3. Di antaranya juga adalah firman Allah; “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa': 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan ada-tu nafyi dan dengan sumpah. Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Allah Ta’ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruhurusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajibdikuti secara lahir dan batin.”
Imam Ibnu Qayyim juga berkata mengenai ayat ini: “Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atastidak adanya iman pada diri hamba-hambaNya sehingga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, namun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan.”

1.4. Firman Allah Ta’ala : “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?” [QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan system jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syari’at dan system Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur’an dan AsSunnah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah?. Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, “Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja.
Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orangjahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah  tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka: “ Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan .”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat olehpara tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut  jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata.
Hukum ini menjadi undang-undang  yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunnah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasulNya, sehingga tidakberhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit.” Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana  akan kami sebutkan melalui komentar ‘alamah syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.

Ketika berhukum dengan Alyasiq bangsa Tartar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Alyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah rasulNya, para ulama mengkafirkan mereka  dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, “Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam,kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud”

Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat.  Maka syaikh taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu’awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya.”
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar.
Syaikhul Islam IbnuTaimiyah mengatakan kepada masyarakat, “Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku.” Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam.

Karena itu, syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam [Umdatu tafsir IV/173-174].

1.5. Firman Allah Ta’ala : “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan  (menatapkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [QS. Asy Syura:21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini, “Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyari’atkan Allah. Namun mereka mengikuti undang undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah  yang batil dan harta-harta yang rusak.”

1.6. Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani : “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At Taubah: 31].
Sudah sama-sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta danahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan penghara man yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya.

Dalam hadits tersebut disebutkan, “Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendetamenghalalkan sesuatu yang haram mereka  ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya.” Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A’yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits.” Hadits ini dihasankan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa VII/67 dan Syaikh Nashirudin Al Albani dalam Ghayatul Maram halaman 20, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Pengarang Fathul Majid mengatakan tentang ayat ini, “Dengan ini jelaslah bahwa ayat inimenunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunnah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya sebagai sekutu Allah”.

1.7. Di antara dalil lainnya adalahfirman Allah : “Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik.” [QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin,”Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata, “Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syari’atnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dankalian dahulukan undang-undang selainNya atas syari’atNya, maka ini adalah syirik.
Sebagaimana firman Allah, “ Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah …” Tidak diragukan lagi mengikuti undang-undang dasar ‘45 yang menihilkan syari’at Allah merupakan sikap berpaling dari syari’at dan ketaatan kepada Allah, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam tafsirnya saat menafsirkan firman Allah: “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26] Beliau berkata, “Dipahami dari ayat ini “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan” bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain apa yang disyari’atkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri’ (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah,: “Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik.” [QS. Al An'am :121].

Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri’ (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syari’at Allah inilah yang dimaksud  dengan  beribadah kepada setan dalam ayat , “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepadaKu. Inilah jalan yang lurus.” [QS. Yasin :60-61].”

1.8. Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari millah.
Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tartar : “Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir.

Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dinul Islam atau mengikuti syari’at (perundang-undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam maka iatelah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “ Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah danpara rasulNya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasulNya” {QS. An Nisa’ :150}.

Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa, “Manusia kapan saja  menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari’at Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama.” Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akanhal ini. Insya Allah. Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan dalam menafsirkan firman Allah, “Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuatsyirik.” Ini adalah sumpah Allah Ta’ala, Ia bersumpah bahwa setiaporang yang mengikuti setan dalammenghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma’ kaum muslimin.” Abdul Qadir Audah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan halyang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin.” Demikianlah nash-nash Al Qur’an yang tegas ini disertai ijma’ yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari millah.
Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah kafir duna kafir (kafir asghar) tidak berlaku atas masalah ini.
Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha’ (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.

Fatwa para ulama kontemporer

1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, “Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Allah: “..Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…” [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].

Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, “Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur’an dan As Sunnah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qura’an dan As Sunnah yang lebih berat dari penentangan  mereka seperti ini dan pembatal syahadat “Muhammad adalah utusan Allah” mana lagi yang lebih besar dari hal ini?”

2. Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang Al Yasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan, “Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat darial hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi; hukum Alyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya.

Namun kondisi kaum  muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka  karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Alyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya. Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri.”

Beliau juga mengatakan: “UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin.. pada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya  sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan  kalimat-kalimat ” Pensakralan UUD”,  ” Kewibawaan lembaga peradilan ” dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UUD dan aturan-aturan ini dengan kata  “fiqih dan faqih” “tasyri’ dan musyari’ ” dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah.”

3. Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah, “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, “Dengan nash-nash samawi  yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisanwali-waliNya, menyelisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan rasulNya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka.”

Syaikh Al Syinqithi juga berkata: “Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri’ selain tasyri’ Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah.”

4 Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni’, yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma’rifatiDalil, mengatakan, “..Berhukum dengan hukum-hukum positif yangmenyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya ; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya.

Berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut.. tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah(masalah nikah,cerai, ruju’) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama.. barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga halini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung.”

5. Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau “Naqdu Al Qaumiyah Al ‘Arabiyah ”(Kritik atas nasionalisme Arab)mengatakan, “Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab: seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur’an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur’an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur’an . Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Iniadalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad.”

6. Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, “Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Allah; berarti telah keluar dari milah dan kafir.”

7. Syaikh Muhammad Hamid Al Faqidalam komentar beliau atas FathulMajid mengatakan, “Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulamasalaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yangdtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukumdan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut..”

Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Alyasiq, “Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dantidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat baginya…”.

8 Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Barang siapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau meremehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dankelemahan sistem yang ia tinggalkan.”

9. Syaikh Abu Shuhaib Abdul Aziz bin Shuhaib Al Maliki sendiri telah mengumpulkan fatwa lebih dari 200 ulama salaf dan kontemporer yang menyatakan murtadnya pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif sebagai pengganti dari syariah Islam, dalam buku beliau Aqwaalu Aimmahwa Du’at fi Bayaani Riddati Man Baddala Syariah Ninal Hukkam Ath Thughat.

Bagikan
Anda pembaca ke: 1498
Mari bagikan di facebook.